Pelaku praktik pencucian uang yang menyamarkan uang atau harta hasil dari tindak pidana selalu bergerak licin agar dapat berkelit dari penegak hukum. Untuk membantu menelusuri aliran dana itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan membuat aplikasi yang berisi pangkalan data pejabat yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Sejak 2004 sampai 2016, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki data 900 ribuan individu dengan catatan melakukan transaksi mencurigakan dengan total Rp100 ribu triliun. "Nantinya aplikasi ini akan membantu mencari aliran dana, misalnya terkait pejabat yang terindikasi melakukan korupsi," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin melalui Bisnis.com, Senin (9/1/2016).
Kiagus mengatakan aplikasi berisi pangkalan data sangat diperlukan mengingat belum ada lembaga yang dapat mengeluarkan rekomendasi daftar politically exposed persons (PEP) yang terindikasi terlibat dalam tindak pidana.
PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik di antaranya penyelenggara negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun asing. Penyelenggara negara itu termasuk kategori yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.
Selain aplikasi untuk pangkalan data pejabat terindikasi korupsi, PPATK juga mengembangkan aplikasi Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang akan rampung pada 2017. Aplikasi itu menampung kewajiban pelaporan bagi pihak profesi seperti advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan.
Melalui aplikasi LTKM, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang mencurigkan dari kliennya. "Keterlibatan pihak pelapor profesi dapat mempersempit ruang gerak para pelaku tindak pidana pencucian uang," ujar Kiagus.
Kiagus menambahkan, kewajiban pelaporan itu diharapkan dapat mencegah kemungkinan pemberi jasa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan pencucian uang. Ketentuan untuk melaporkan transaksi tak wajar pada PPATK tersebut sudah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Direktur Pelaporan PPATK, Sugiono Setiabudi, mengatakan ada sanksi bagi mereka yang tidak melakukan kewajiban menyampaikan laporan secara elektronik. Bentuk sanksi dapat berupa sanksi administratif, pengumuman ke publik sampai denda administratif. (sumber)
Sejak 2004 sampai 2016, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki data 900 ribuan individu dengan catatan melakukan transaksi mencurigakan dengan total Rp100 ribu triliun. "Nantinya aplikasi ini akan membantu mencari aliran dana, misalnya terkait pejabat yang terindikasi melakukan korupsi," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin melalui Bisnis.com, Senin (9/1/2016).
Kiagus mengatakan aplikasi berisi pangkalan data sangat diperlukan mengingat belum ada lembaga yang dapat mengeluarkan rekomendasi daftar politically exposed persons (PEP) yang terindikasi terlibat dalam tindak pidana.
PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik di antaranya penyelenggara negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun asing. Penyelenggara negara itu termasuk kategori yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.
Selain aplikasi untuk pangkalan data pejabat terindikasi korupsi, PPATK juga mengembangkan aplikasi Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang akan rampung pada 2017. Aplikasi itu menampung kewajiban pelaporan bagi pihak profesi seperti advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan.
Melalui aplikasi LTKM, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang mencurigkan dari kliennya. "Keterlibatan pihak pelapor profesi dapat mempersempit ruang gerak para pelaku tindak pidana pencucian uang," ujar Kiagus.
Kiagus menambahkan, kewajiban pelaporan itu diharapkan dapat mencegah kemungkinan pemberi jasa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan pencucian uang. Ketentuan untuk melaporkan transaksi tak wajar pada PPATK tersebut sudah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Direktur Pelaporan PPATK, Sugiono Setiabudi, mengatakan ada sanksi bagi mereka yang tidak melakukan kewajiban menyampaikan laporan secara elektronik. Bentuk sanksi dapat berupa sanksi administratif, pengumuman ke publik sampai denda administratif. (sumber)