Kutipan di atas dari tulisan Mbah Nun berjudul Ummat Islam Indonesia Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri yang mengutarakan di antaranya tentang setting pemecahbelahan ummat Islam, tentang bagaimana seharusnya ummat Islam bersikap di tengah kepungan globalisasi yang ingin mengeruk sumber daya alam Indonesia sebanyak-banyaknya demi kenyamanan dan kemakmuran kehidupan mereka.
Bahkan seorang Menteri Jajahan Baud mengungkapkan bahwa Jawa adalah gabus tempat Naderland mengapung. Gabus itu adalah tenaga, sumber daya alam Indonesia. Sekarang rupanya banyak orang dari penjuru dunia memiliki kepentingan yang sama, mengincar Indonesia agar mereka nyaman mengapung, ongkang-ongkang di atas sofa, sambil pesta-pesta.
Membaca tulisan itu saya teringat dengan beberapa dokumen yang pernah saya baca yang menggambarkan pecah belah, cerai berai umat Islam Indonesia, sehingga tidak memiliki amunisi untuk menumbangkan penjajahan oleh negeri sekecil Belanda.
Saya akan cantumkan sumber atau referensi dari mana data saya ambil, atas pertimbangan saya ini siwur dan sumber-sumber itu genthong. Jika saya tidak menyantumkan sumber, saya tidak nyaman. Serasa mencuri dari gentong orang tidak bilang-bilang.
Pertama saya akan cerita tentang Diponegoro (1785-1855), seorang pangeran Jawa yang mengobarkan peperangan selama lima tahun (1825-1830). Perlawanannya membuat pemerintahan Hindia Belanda kalang kabut. Demi mematahkan Diponegoro, pemerintah Hindia Belanda — menurut informasi dari Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja — mempertaruhkan kas Negara. Perbedaharaan hartanya ludes. Diponegoro melawan dengan menyatukan kekuatan Islam. Ia datang ke pondok-pondok pesantren, guru-guru mengaji, mengenakan pakian bersorban ala Islam, memberi gelar pasukannya dengan gelar-gelar Islam.
Diponegoro mendapatkan pendidikan Islam dari Simbah Putrinya sendiri yang asli Madura. Masa kecil Diponegoro adalah ikut dengan kakek-neneknya yang menyingkir di Tegalsari. Sebelumnya tidak ada perlawanan terhadap Belanda sekeras Diponegoro, karena kalangan santri dengan kalangan priyayi tidak pernah akur, mereka saling tusuk dari belakang atau berhadap-hadapan.
Jika kita membaca buku berjudul Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1786-1855) tulisan Pater Carey, bahwa jatuhnya Diponegoro karena adanya perpecahan di kalangannya Islam sendiri. Adalah Diponegoro dan Kiai Mojo, dua pimpinan pokok perang Jawa ini pecah kongsi. Menurut Carey, jika dia bisa dipercaya, mereka punya kepentingan sendiri-sendiri. Pada 12 November 1828 Kiai Mojo menyerahkan diri kepada Belanda. Kepada Belanda dia mengaku: “Gagasan pertamanya, yang membuat saya rela ikut berperang adalah bahwa Diponegoro menjanjikan saya untuk memulihkan agama kami. Ketika percaya akan hal itu, saya bergabung dengan sepenuh hati. Tetapi di kemudian hari saya menemukan ini bukanlah tujuan riil-nya, karena dengan cepat ia mulai merancang dan membangun sebuah keraton baru.”
Pada Januari 1830 patih Diponegoro yang setia, Raden Adipati Abdullah Danurejo juga pergi membelot kepada Belanda dan semakin melemahkan kekuatan Diponegoro.
Contoh lain pemecahbelahan umat Islam adalah kasus Sayyid Usman. Untuk menilik kasus ini, saya mencoba membaca tulisan Jajat Burhanudin berjudul Islam dan Kolonilasme: Sayyid Usman dan Islam di Indonesia Masa Penjajahan.
Adalah Sayyid Usman, seorang ilmuwan Islam di zaman kolonial yang lahir pada 1 Desember 1882 di Pekojan, Batavia. Karena ketidaksetujannya kepada tarekat Naqsyabandiyah, ia membujuk pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkatnya menjadi penghulu yang mengurusi urusan ummat Islam di Indonesia. Ia menulis kitab berjudul al-Naṣīḥah al-‘Anīqah li al-Mutalabbisīn bi al-Ṭarīqah (Batavia 1883), dan digunakan oleh pemerintah Belanda dalam menangani peristiwa Cianjur 1885. Kemudian Sayyid Usman melakukan korespondensi dengan ilmuwan yang menentukan kebijakan tentang orang Islam di Indonesia, ia adalah Snouck Hurgronje.
Dalam surat bertanggal 8 Juli 1888 kepada Snouck, Sayyid Usman menyatakan kesediaannya mengabdi kepada Belanda. Dia secara tegas menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai penasehat untuk urusan Islam dan Arab, sebagai mufti pemerintah. Karya Sayyid Usman berjudul Minhāj al-Istiqāmah fī al-Dīn bi al-Salāmah (1889-1890) berisi daftar sekitar dua puluh dua contoh praktik bid’ah terlarang yang dilakukan oleh umat Muslim.
Melihat kasus ini kita bisa melihat adanya kesamaan pola cara pemecah belahan ummat antara zaman dulu dengan zaman sekarang yaitu dengan cara membid’ahkan. Menuduh kelompok lain melakukan perbuatan-perbuatan di luar ajaran Islam.
Terhadap para ulama yang terlibat dalam jihad, dengan menunjuk pada peristiwa pemberontakan Banten tahun 1888 yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, Sayyid Usman melancarkan kritik yang tajam. Menurut Sayyid, jihad rakyat Banten tersebut sebagai ghurūr (delusi) atas ajaran Islam yang benar dan menuduh ulama sebagai pengikut setan.
Sebuah perpecahan ditandai dengan keinginan bekerja sama dengan pihak lain demi mengalahkan pihak yang sebenarnya lebih dekat secara ideologi dengan dia. Hal ini dilakukan oleh Sayyid Ustman, pada Agustus 1886 ia mengirim surat permohonan untuk mendapatkan jabatan sehingga bisa bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman juga menulis beberapa kitab yang mendukung langgengnya pemerintahan kolonial dan menyerang pihak-pihak pemberontok dengan menuduh mengacau keamanan. Karya tersebut salah satunya berjudul Taftīḥ al-‘Uyūn ‘alá Fasad al-Ẓunūn (1891). Dalam kitab itu dengan alasan memelihara keadaan aman di Hindia Belanda, maka kerusuhan adalah sebuah kebodohan. Dalam karyanya lain yang berjudul Adāb al-Insān, Sayyid Usman menganggap Belanda telah berhasil menciptakan keadaan aman, karena masyarakat bebas melaksanakan ajaran agamanya.
Dari dua peristiwa itu, peristiwa Diponegoro dan Sayyid Usman, kita bisa belajar bahwa pecah belah, bertengkar sesama kita itu melemahkan dan gampang membuat bangsa kita roboh. Mari waspada. (lihat sumber)
Bahkan seorang Menteri Jajahan Baud mengungkapkan bahwa Jawa adalah gabus tempat Naderland mengapung. Gabus itu adalah tenaga, sumber daya alam Indonesia. Sekarang rupanya banyak orang dari penjuru dunia memiliki kepentingan yang sama, mengincar Indonesia agar mereka nyaman mengapung, ongkang-ongkang di atas sofa, sambil pesta-pesta.
Membaca tulisan itu saya teringat dengan beberapa dokumen yang pernah saya baca yang menggambarkan pecah belah, cerai berai umat Islam Indonesia, sehingga tidak memiliki amunisi untuk menumbangkan penjajahan oleh negeri sekecil Belanda.
Saya akan cantumkan sumber atau referensi dari mana data saya ambil, atas pertimbangan saya ini siwur dan sumber-sumber itu genthong. Jika saya tidak menyantumkan sumber, saya tidak nyaman. Serasa mencuri dari gentong orang tidak bilang-bilang.
Pertama saya akan cerita tentang Diponegoro (1785-1855), seorang pangeran Jawa yang mengobarkan peperangan selama lima tahun (1825-1830). Perlawanannya membuat pemerintahan Hindia Belanda kalang kabut. Demi mematahkan Diponegoro, pemerintah Hindia Belanda — menurut informasi dari Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja — mempertaruhkan kas Negara. Perbedaharaan hartanya ludes. Diponegoro melawan dengan menyatukan kekuatan Islam. Ia datang ke pondok-pondok pesantren, guru-guru mengaji, mengenakan pakian bersorban ala Islam, memberi gelar pasukannya dengan gelar-gelar Islam.
Diponegoro mendapatkan pendidikan Islam dari Simbah Putrinya sendiri yang asli Madura. Masa kecil Diponegoro adalah ikut dengan kakek-neneknya yang menyingkir di Tegalsari. Sebelumnya tidak ada perlawanan terhadap Belanda sekeras Diponegoro, karena kalangan santri dengan kalangan priyayi tidak pernah akur, mereka saling tusuk dari belakang atau berhadap-hadapan.
Jika kita membaca buku berjudul Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1786-1855) tulisan Pater Carey, bahwa jatuhnya Diponegoro karena adanya perpecahan di kalangannya Islam sendiri. Adalah Diponegoro dan Kiai Mojo, dua pimpinan pokok perang Jawa ini pecah kongsi. Menurut Carey, jika dia bisa dipercaya, mereka punya kepentingan sendiri-sendiri. Pada 12 November 1828 Kiai Mojo menyerahkan diri kepada Belanda. Kepada Belanda dia mengaku: “Gagasan pertamanya, yang membuat saya rela ikut berperang adalah bahwa Diponegoro menjanjikan saya untuk memulihkan agama kami. Ketika percaya akan hal itu, saya bergabung dengan sepenuh hati. Tetapi di kemudian hari saya menemukan ini bukanlah tujuan riil-nya, karena dengan cepat ia mulai merancang dan membangun sebuah keraton baru.”
Pada Januari 1830 patih Diponegoro yang setia, Raden Adipati Abdullah Danurejo juga pergi membelot kepada Belanda dan semakin melemahkan kekuatan Diponegoro.
Contoh lain pemecahbelahan umat Islam adalah kasus Sayyid Usman. Untuk menilik kasus ini, saya mencoba membaca tulisan Jajat Burhanudin berjudul Islam dan Kolonilasme: Sayyid Usman dan Islam di Indonesia Masa Penjajahan.
Adalah Sayyid Usman, seorang ilmuwan Islam di zaman kolonial yang lahir pada 1 Desember 1882 di Pekojan, Batavia. Karena ketidaksetujannya kepada tarekat Naqsyabandiyah, ia membujuk pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkatnya menjadi penghulu yang mengurusi urusan ummat Islam di Indonesia. Ia menulis kitab berjudul al-Naṣīḥah al-‘Anīqah li al-Mutalabbisīn bi al-Ṭarīqah (Batavia 1883), dan digunakan oleh pemerintah Belanda dalam menangani peristiwa Cianjur 1885. Kemudian Sayyid Usman melakukan korespondensi dengan ilmuwan yang menentukan kebijakan tentang orang Islam di Indonesia, ia adalah Snouck Hurgronje.
Dalam surat bertanggal 8 Juli 1888 kepada Snouck, Sayyid Usman menyatakan kesediaannya mengabdi kepada Belanda. Dia secara tegas menyatakan hasratnya untuk diangkat sebagai penasehat untuk urusan Islam dan Arab, sebagai mufti pemerintah. Karya Sayyid Usman berjudul Minhāj al-Istiqāmah fī al-Dīn bi al-Salāmah (1889-1890) berisi daftar sekitar dua puluh dua contoh praktik bid’ah terlarang yang dilakukan oleh umat Muslim.
Melihat kasus ini kita bisa melihat adanya kesamaan pola cara pemecah belahan ummat antara zaman dulu dengan zaman sekarang yaitu dengan cara membid’ahkan. Menuduh kelompok lain melakukan perbuatan-perbuatan di luar ajaran Islam.
Terhadap para ulama yang terlibat dalam jihad, dengan menunjuk pada peristiwa pemberontakan Banten tahun 1888 yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, Sayyid Usman melancarkan kritik yang tajam. Menurut Sayyid, jihad rakyat Banten tersebut sebagai ghurūr (delusi) atas ajaran Islam yang benar dan menuduh ulama sebagai pengikut setan.
Sebuah perpecahan ditandai dengan keinginan bekerja sama dengan pihak lain demi mengalahkan pihak yang sebenarnya lebih dekat secara ideologi dengan dia. Hal ini dilakukan oleh Sayyid Ustman, pada Agustus 1886 ia mengirim surat permohonan untuk mendapatkan jabatan sehingga bisa bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman juga menulis beberapa kitab yang mendukung langgengnya pemerintahan kolonial dan menyerang pihak-pihak pemberontok dengan menuduh mengacau keamanan. Karya tersebut salah satunya berjudul Taftīḥ al-‘Uyūn ‘alá Fasad al-Ẓunūn (1891). Dalam kitab itu dengan alasan memelihara keadaan aman di Hindia Belanda, maka kerusuhan adalah sebuah kebodohan. Dalam karyanya lain yang berjudul Adāb al-Insān, Sayyid Usman menganggap Belanda telah berhasil menciptakan keadaan aman, karena masyarakat bebas melaksanakan ajaran agamanya.
Dari dua peristiwa itu, peristiwa Diponegoro dan Sayyid Usman, kita bisa belajar bahwa pecah belah, bertengkar sesama kita itu melemahkan dan gampang membuat bangsa kita roboh. Mari waspada. (lihat sumber)